Sabtu, 12 Juli 2008

PANDUAN BAGI YANG BERPERGIAN


Bepergian sudah merupakan bagian dari kegiatan manusia dalam kehidupanya. Baik dengan tujuan untuk ziarah/berkunjung kepada sanak-saudara, menuntut ’ilmu maupun urusan perdagangan. Banyak hal yang perlu dan sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang muslim ketika melakukan perjalanan atau safar.berikut merupakan beberapa hal yang kami peroleh :
DOA ORANG MUKIM KEPADA MUSAFIR/ORANG YANG HENDAK PERGI :
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَا نَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ.
“Aku menitipkan agamamu, amanatmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi 2/7, At-Tirmidzi 5/499, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 2/155)
atau bisa doa dibawah ini :
زَوَّدَكَ اللهُ التَّقْوَى، وَغَفَرَ ذَ نْبَكَ، وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُ مَا كُنْتَ

“Semoga Allah memberi bekal taqwa kepadamu, mengampuni dosamu dan memudahkan kebaikan kepadamu di mana saja kamu berada.” (HR. At-Tirmidzi, lihat Shahih At-Tirmidzi 3/155)
DOA MUSAFIR KEPADA ORANG YANG DITINGGALKAN :

أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya.” (HR. Ahmad 2/403, Ibnu Majah 2/943, dan lihat Shahih Ibnu Majah 2/133)
Doa Keluar Rumah :
بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Dengan nama Allah (aku keluar).Aku bertawakkal kepadaNya, dan tiada daya dan upaya kecuali karena perto-longan Allah” (HR. Abu Dawud 4/325, At-Tirmidzi 5/490, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/151)
atau bisa baca doa dibawah ini :
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ، أ َوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi”.(HR. Seluruh penyusun kitab Sunan, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/152 dan Shahih Ibnu Majah 2/336)
Ketika akan berpergian kita bisa baca doa dibawah ini (Doa Berpergian) :
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، {سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ} اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أ َنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَا لِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَا ئِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ

“Allah Maha Besar (3x). Maha Suci Tuhan yang menundukkan kenda-raan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat). Ya Allah! Sesungguh-nya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon per-buatan yang meridhakanMu. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”
Apabila kembali, doa di atas dibaca, dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami.” (HR. Muslim 2/998)
Ketika naik kendaraan kamu bisa baca doa dibawah ini (Doa Naik Kendaraan) :
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ {سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ} الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesung-guhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesung-guhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud 3/34, At-Tirmidzi 5/501, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/156)
Ketika dalam perjalanan, jangan kamu buang waktumu dengan percuma atau kegiatan yang tiada berguna. Banyak-banyak berdzikir misalnya.
قال جابر رضي الله عنه: كُنَّا إِذَا صَعَدْنَا كَبَّرْنَا، وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
Dari Jabir z, dia berkata: “Kami apabila berjalan naik, membaca takbir, dan apabila kami turun, membaca tasbih.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 6/135)
Atau isi dengan kegiatan positif lainnya seperti membaca or lainnya, pokok’e positif.
Ketika menjelang subuh ketika dalam keadaan musafir (berpergian), kamu bisa baca doa dibawah ini (DOA MUSAFIR KETIKA MENJELANG SUBUH):

سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللهِ، وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا. رَبَّنَا صَاحِبْنَا، وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللهِ مِنَ النَّارِ
"Semoga ada yang memperde-ngarkan puji kami kepada Allah (atas nikmat) dan cobaanNya yang baik bagi kami. Wahai Tuhan kami, temanilah kami (peliharalah kami) dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api Neraka.” (H.R. Muslim 4/2086, Syarah An-Nawawi 17/39)
Apabila kamu sudah tiba ditempat tujuanmu dan akan mendiaminya, kamu bisa baca doa dibawah ini (DOA APABILA MENDIAMI SUATU TEMPAT, BAIK DALAM BEPERGIAN ATAU TIDAK):

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan apa yang diciptakanNya.” (HR. Muslim 4/2080)
Dalam kegiatan semacam ini, hendaknya kita benar-benar menjaga diri kita, terutama agama kita. Jangan kita terlena dengan kesenangan dunia kita, yang hanya kesenangan sesaat. Jangan kita jual agama dan iman kita dengan harga yang sangat murah. Jaga ibadahmu, jaga akhlaqmu, jaga pergaulanmu. Sebisa mungkin hindari ikhtilath (berkumpulnya beberapa laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya di satu tempat, yang memungkinkan terjadinya hubungan diantara mereka apakah melaui pandangan mata, isyarat ataupun dengan bercakap-cakap). Ikhtilat adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan termasuk perkara yang sangat berbahaya yang Allah subhanahu wata’ala telah memperingatkan kaum muslimin dari padanya, karena ikhtilat antara dua jenis –laki-laki dan wanita-merupakan sebab yang terbesar dan yang paling mudah untuk mengantarkan pada perbuatan fahisya (yakni zina). Padahal Allah berfirman :
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji, dan merupakan jalan yang buruk.” (Al-Israa’ : 32).
Dan yang paling berbahaya dari ikhtilat adalah khalwat yakni bersendirian/bersepi-sepinya laki-laki dan wanita yang bukan mahram di satu tempat, karena khalwat merupakan jalan masuknya syaithan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wsallam bersabda :
“Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang seorang wanita (yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.” (HR.Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, dan Hakim menshahihkannya)
Jangan sampai acara seperti ini kita gunakan untuk ajang memperbanyak dosa kita. Sayangkan! Marilah kita niatkan kepergian ini hanya untuk Allah dan gunakan moment ini untuk bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, agar kita selamat dunia dan akherat. Dan agar kita bisa selamat sampai ditujuan dan kembali lagi kerumah kita.
DOA APABILA PULANG DARI BEPERGIAN
Bertakbir tiga kali, di atas tempat yang tinggi, kemudian membaca:
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ، صَدَقَ اللهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan pujaan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Kami kembali dengan bertaubat, beribadah dan memuji kepa-da Tuhan kami. Allah telah menepati janjiNya, membela hambaNya (Muham-mad) dan mengalahkan golongan mu-suh dengan sendirian” (HR. Al-Bukhari 7/163, Muslim 2/980)
Maraji : Hisnul Muslim

SHOLATNYA MUSAFIR


Bagi kita yang berstatus musafir, Allah telah memberikan beberapa keringanan dalam agamanya. Salah satunya adalah sholat bisa kita jamak dan atau bisa di qashar.
Shalat jamak maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jamak Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jamak Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat yang boleh dijamak adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijamak dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.

Shalat jamak dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah , sebagaimana firman-Nya, ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah  yang disuruh oleh Rasulullah  untuk menerimanya, (HR.Muslim).

Shalat Jamak lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjamak shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjamak shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah  menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.

Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjamak shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjamak shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjamak, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjamak dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).

Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jamak dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjamak dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah  di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).

Seorang yang menjamak shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjamaknya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjamaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjamak dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjamak dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya (sebagian ulama’ membolehkan mengqashar terus walaupun lebih dari empat hari). Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah  ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjamak dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjamak dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjamak dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jamak Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jamak ta’khir tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah .

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.

Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah  selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.

Wallahu a’lam bissawwaab

Maraji : Fatawa As-Sholat (Syeikh Abd. Aziz bin Baz) & Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz (Abd. Adhim bin Badawi Al-Khalafi)

(Dinukil dari Makalah Dauroh, “Sholat Jamak dan Qashar”, Ust. Nurul Mukhlisin Asyarifuddin)