Jumat, 20 Juni 2008

Kisah Pemuda Zuhud


Abdullah bin Al-Faraj adalah seorang yang tekun beribadah dan dikenal sebagai orang yang shalih. Dia hidup pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.

Suatu ketika Abdullah bin Al-Faraj mempunyai barang-barang yang harus dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain di dalam rumahnya. Untuk mengerjakan hal tersebut, ia memerlukan seorang pekerja serabutan. Maka ia pun segera pergi ke pasar untuk mencarinya. Setelah mencari ke sana ke mari di dalam pasar, akhirnya ia menemukan seorang pemuda berwajah pucat pasi sedang membawa keranjang besar dan sekop. Pemuda itu mengenakan jubah dan selembar kain sarung yang keduanya terbuat dari bulu domba. Maka Abdullah menghampiri pemuda tersebut dan bertanya kepadanya,

“Maukah engkau bekerja untukku?”
“ya,” jawab pemuda itu singkat.
“Berapa imbalannya yang kau minta?” tanya Abdullah kepadanya.
“Satu seperenam dirham,” jawab pemuda itu singkat.
“Baiklah kau dapat bekerja untukku” kata Abdullah.
Tiba-tiba pemuda itu berkata,”Ada satu syarat!”
“Apa syarat yang engkau minta?” jawab Abdullah.
“Bila waktu shalat dzuhur telah tiba dan mu’adzin telah pula mengumandangka adzan, aku akan keluar untuk mengambil air wudlu dan kemudian menunaikan shalat berjama’ah di masjid, setelah itu aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Demikian juga bila telah tiba waktu shalat ashar,” jawab pemuda itu tersebut.
“Ya boleh,”Jawab Abdullah singkat.

Setelah berkata demikian, Abdullah bin Al-Faraj pun mengajaknya pulang ke rumah untuk memulai pekerjaannya. Sesampainya di rumah, pemuda itu pun segera bekerja memindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia bekerja dengan rajin dan tidak pernah sedikitpun mengajak Abdullah berbicara. Ketika adzan dzuhur telah dikumandangkan, pemuda tadi lalu berkata kepada Abdullah, “Wahai Abdullah Mu’adzin telah mengumandangkan adzan!”
“Silahkan” kata Abdullah kepadanya.

Pemuda itu pun segera keluar menuju ke masjid untuk segera menunaikan shalat dzuhur berjama’ah bersama kaum muslimin termasuk Abdullah. Ketika keperluannya di masjid sudah selesai, pemuda itu segera kembali pergi kerumah Abdullah bin Al-Faraj. Di sanapun ia bekerja kembali dengan rajin sepanjang siang.

Waktu ashar pun tiba, dan adzan untuk mengajak kaum muslimin shalat berjama’ah di masjid pun berkumandang. Maka pemuda itu pun menghentikan pekerjaannya, dan berkata kepada Abdullah, sang Mu’dzin telah mengumandangkan adzan!”
“Silahkan” kata Abdullah.

Pemuda itupun keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat Ashar bersama kaum muslim lainnya.. usai menunaikan shalat ia pun kembali meneruskan pekerjaannya hingga hari menjelang sore. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Abdullah pun menyerahkan upahnya dan menyuruhnya pulang.

Selang beberapa hari kemudian, Abdullah bin Al-Faraj membutuhkan lagi seorang pekerja serabutan. Istrinya pun berkata kepadanya, “Carilah kembali pemuda yang pernah bekerja kepada kita, karena lewat pekerjaannya itu dia telah banyak memberikan nasihat kepada kita !”

Mendengar saran istrinya tersebut, Abdullah segera pergi kepasar. Sesampainya di pasar, dicarinya pemuda berwajah pucat pasi yang beberapa hari yang lalu pernah bekerja di rumahnya. Namun setelah ia mencarinya kesana kemari, tak ditemukannya pemuda itu. Maka bertanyalah Abdullah kepada orang-orang dipasar perihal pemuda tersebut. Mereka yang ditanyai oleh abdullah menjawab, “Mengapa Anda menanyakan si pemuda pucat yang celaka itu? Dia datang kesini hanya setiap hari sabtu dan kedatangannya itu pun hanya sekedar untuk duduk saja hingga semua orang kembali ke rumah masing-masing”. Mendengar jawaban mereka, Abdullah memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan memutuskan akan mencarinya lagi pada hari sabtu.

Pada hari sabtu, Abdullah bin Al-Faraj pergi ke pasar untuk mencari pemuda tersebut. Ternyata memang benar kata orang-orang, pemuda itu memang berada di sana. Segeralah Abdullah bin Al-Faraj menghampirinya dan menanyainya, “Maukah engkau bekerja lagi untukku?”
“Aku yakin Anda telah mengetahui berapa upah dan syarat-syarat yang kuajukan kepada Anda,” jawab pemuda itu.
“Mengenai hal tersebut, aku telah memohon petunjuk kepada Allah,” kata Abdullah.

Pemuda itu pun berdiri dan mengikuti Abdullah bin Al-Faraj ke rumahnya. Setelah sampai di rumah, pemuda itupun segera bekerja dengan rajin sebagaimana dulu pernah dipekerjakan untuk Abdullah bin Al-Faraj. Sama seperti dulu pula, ketika adzan dzuhur dan ashar berkumandang, pemuda itupun minta izin kepada Abdullah untuk menunaikan shalat berjama’ah di mesjid.

Setelah sore, maka Abdullah pun memberikannya upah sebesar yang telah disepakati. Ternyata Abdullah puas terhadap pekerjaan pemuda tersebut akan diberi upah sekaligus tipsnya, pemuda itu mengambil upahnya dan menolak tips yang diberikan oleh Abdullah bin AL-Faraj.

Beberapa waktu kemudian, Abdullah membutuhkan tenaganya kembali. Dan sesuai dengan pengetahuan yang ia ketahui, maka Abdullah pun mencarinya di pasar pada hari sabtu. Tetapi setelah dicarinya ke sana – ke mari di sekitar pasar, pemuda sederhana itu tidak ditemukannya. Lalu, ia pun bertanya kepada orang-orang yang berada di pasar tentang pemuda itu, dan salah seprang menjawab, “Dia sedang sakit.”

Orang itupun menambahkan, “Pemuda itu tiap sabtu selalu datang ke pasar ini dan dia selalu berkerja dengan imbalan satu seperenam dirham. Dengan uang satu seperenam dirham itulah dia dapat makan setiap hari. Dan kini dia sedang menderita sakit.”

Maka Abdullah pun menanyakan alamat rumah tersebut kepada orang itu. Setelah orang itu memberikan alamatnya, Abdullah segera menuju ke kediaman pemuda yang sedang ia cari tersebut. Ternyata pemuda itu tinggal si sebuah rumah milik seorang wanita yang telah lanjut usia. Ketika wanita lanjut usia itulah yang ditemui oleh Abdullah pertama kali, maka Abdullah pun bertanya kepadanya, “Benarkah di sini kediaman seoran pemuda yang suka melakukan perkejaan serabutan ?”

“Sejak beberapa hari ini dia menderita sakit,” jawab wanita renta itu dengan suara tuanya.

Abdullah pun meminta izin kepada wanita tua itu untuk menemuinya. Wanita renta itu segera mempersilahkan Abdullah masuk dan menunjukkan tempat pemuda tersebut berada. Ternyata benar, pemuda berwajah pucat pasi itu sedang berbaring sakit keras dengan berbantal sebuah batu bata.
“Assalamu’alaikum,” sapa Abdullah kepadanya.
“Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawab pemuda tersebut.
Abdullah segera bertanya kepadanya,”Adakah yang bisa kubantu untukmu?”
“Ya, jika Anda bersedia,” kata Abdullah.
“Jika aku telah meninggal dunia nanti, tolong jualkan sekop ini. Tolong cucikan jubah bulu dan kain sarung ini. Lalu gunakan kedua akinku ini untuk mengafaniku. Sobeklah saku jubah ini kerena didalamnya ada sebuah cincin. Tanyakan kapan Khalifah Harun Ar-Rasid keluar dari istananya. Bila Anda sudah mengetahuinya, hadanglah dia dan ajaklah dia berbicara serta tunjukanlah cincin itu kepadanya, niscaya dia akan memanggil Anda. Jika Anda sudah menghadapnya, serahkanlah cincin itu kepadanya. Ingat ! Ini harus dilakukan setelah aku dimakamkan nanti!” kata pemuda itu.

“Ya,” jawab Abdullah menyanggupinya.

Kemudian pemuda itu sakit keras selama beberapa waktu dan akhirnya meninggal dunia. Abdullah bin Al-Faraj pun segera menunaikan apa yang diwasiatkan olehnya; menjual sekopnya kemudian mencuci jubah dan sarungnya serta menggunakan kedua kain itu sebagai kain kafan jenazahnya. Setelah jenazah pemuda itu dimakamkan, maka Abdullah pun aktif mencari informasi kapan Khalifah Harum Ar-Rasyid keluar dari istananya.

Setelah mencari-cari tentang hal tersebut, akhirnya tahulah Abdullah kapan Khalifah akan keluar dari istananya. Maka pada hari yang telah dinanti-nantikannya itu, Abdullah segera mencari jalan yang akan dilalui oleh sang Khalifah dan duduk di tepi jalan tersebut. Akhirnya terlihatlah rombongan Khalifah Harun Ar-Rasid semakin dekat dengan tempat ia duduk. Ketika sang Khalifah melintas di depannya, Abdullah segera berteriak,”Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai sebuah titipan untuk tuan !”seraya dia tunjukkan cincin milik pemuda itu.

Ketika Khalifah mendengar seruan tersebut dan melihat cincin yang dipegang Abdullah, segera saja Khalifah dan mengajaknya naik ke atas kendaraannya. Rombongan Khalifah segera pulang menuju istana sedangkan Abdullah belum juga diajak bicara oleh Khalifah sehubungan dengan tindakannya tadi.

Sesampainya di istana, Khalifah Harun Ar-Rasyid memanggil Abdullah bin Al-Faraj untuk menghadapnya. Abdullah pun segera masuk ke ruangan di mana Khalifah berada. Ketika dia sudah masuk, Khalifah lalu memerintahkan semua orang yang ada agar meninggalkan ruangan.

Semua yang ada di situ pun bergegas keluar meninggalkan Abdullah seorang diri di hadapan Khalifah. Ruangan menjadi sunyi senyap. Pertanyaan Khalifah Harun Ar-Rasyid memecah suasana tersebut, “Siapakah Anda ?”
“Abdullah bin Al-Faraj.”
“Dari mana Anda mendapatkan cincin ini ?” tanya Khalifah kepada Abdullah.
Mendengar pertanyaan tersebut, Abdullah menjawabnya dengan bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pemuda berwajah pucat pasi hingga kematian pemuda itu.

Mendengar cerita yang dituturkan oleh Abdullah, seketika itu pula Khalifah Harun Ar-Rasyid menangis. Tangisan beliu membuat Abdullah merasa iba kepadanya. Setelah tangis Khalifah agak reda, Abdullah merasa yang tidak tahu mengapa Khalifah menangis ketika mendengar ceritnya, akhirnya bertanya kepada sang Khalifah, “Wahai Amirul-Mukminin, adakah hubungan Anda dengannya ?”

“Dia adalah putraku,” jawab sang Khalifah.
“Bagaimana mungkin itu terjadi ?” tanya Abdullah hreran memohon penjelasan.
“Dia lahir sebelum aku mendapatkan ujian menjadi Khalifah. Saat itu dia tumbuh dengan baik, rajin mempelajari Al-Qur’an, dan menuntut ilmu. Ketika aku telah diangkat menjadi Khalifah, dia pun pergi meninggalkanku dan tidak membawa sedikit pun bekal harta yang kumiliki. Kepada ibunya, aku lalu menyerahkan cincin ini. Ini adalah yaqut yang nilainya sangat mahal. Oleh ibunya, cincin ini lalu diberikan kepadanya, dengan tujuan agar suatu saat kelak cincin ini membawa manfaat baginya. Ibunya telah meninggal dunia, dan sejak itu aku tidak pernah mendengar berita tentang anakku dan baru sekarang ini engkau membawa berita perihal putraku itu,” kata Khalifah Harun Ar-Rasyid menjelaskan.
“Nanti malam, tolong antarkan aku ke makamnya !” kata Khalifah lagi.

Menjelang malam, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abdullah bin Al-Faraj berdua keluar dari istana berjalan kaku ke makam pemuda sederhana yang ternyata putra seorang Khalifah. Akhirnya, sampailah mereka di makan putra sang Khalifah, lalu Khalifah Harun Ar-Rasyid pun duduk bersimpuh di depan makam putranya sambil menangis pilu.

Mereka berdua terus berada di makam itu sepanjang malam. Hingga saat fajar mulai menyingsing, Khalifah pun mengajak Abdullah pulang seraya berkata, “Engkau harus berjanji kepadaku untuk bersedia datang setiap hari menemaniku ke makam putraku !”

Maka Abdullah pun berjanji kepada sang Khalifah. Sejak saat itu mereka selalu berangkat dan pulang bersama dari berziarah ke makam putra Khalifah Harun Ar-Rasyid. (assyd)


( Sumber : El Fata Edisi IV/ Tahun I, hal. 30 )

Rabu, 18 Juni 2008

Dia Mencium Bau Surga


       Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah rhodiyallaahu ‘anhu, Rasululllah shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “ Ada tujuh golongan orang yang mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya… diantaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah.”

       Dan di dalam sebuah hadits shohih yang berasal dari Anas bin an-Nadhr rhodiyallaahu ‘anhu, ketika perang Uhud ia berkata,”Wah …. angin surga, sunguh aku telah mencium wangi surga yang berasal dari balik gunung Uhud.”

       Seorang Doktor bercerita kepadaku, “ Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata pasien tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal - semoga Allah merahmatinya -. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?

Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya –semoga Allah membalas segala kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh.

Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel ? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka,
’Jangan khawatir! Saya akan meninggal … tenanglah … sesungguhnya aku mencium wangi surga.!’ Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan para dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, maka janganlah kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium wangi surga.’
       
       Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta subhanahu wa ta’ala.

       Allahu Akbar … apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku komentari…Semua kalimat tidak mampu terucap … dan pena telah kering di tangan… Aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “ Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat.” (Ibrahim : 27)

       Ia melanjutkan kisahnya, “Mereka membawa jenazah pemuda tersebut untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya’ di tempat pemandian mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Magrib pada hari yang sama.

       Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullaah Shallallaahu ‘alahi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat”. Ini merupakan tanda-tanda khusnul khatimah.

       Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Pada tubuh orang yang sudah meninggal itu (biasanya-red) dingin, kering dan kaku.

       Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.

Subhanalllah … Sungguh indah kematian seperti itu. Kita memohon semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugrahkan kita khusnul khatimah.

… kisah belum selesai…

Saudara Dhiya’ bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabnya?

       Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya?
Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang terlarang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan husnul khatimah (insyaAllah –red) yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-ngidamkann ya; meninggal dengan mencium wangi surga.

       Ayahnya berkata, “Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah. Ia gemar menghafal al-Qur’an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU.”
Aku katakan, “Maha benar Allah” yang berfirman (yang artinya-red)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fhushilat:30- 32)

Diambil dari : Serial Kisah Teladan Karya Muhammad bin Shalih Al-Qahthani, sebagaimana yang dinukil dari Qishash wa ‘Ibar karya Doktor Khalid al-Jabir.

Sumber :
Majalah elfata hal 65-67 edisi 06 volume 07 tahun 2007 dengan sedikit perubahan redaksi.
(Jilbab.or.id)

Selasa, 17 Juni 2008

Cinta , Takut dan Harap


           Ibadah bukanlah sekedar gerakan jasad yang terlihat oleh mata, namun juga harus menyertakan yang lain. Sebagaimana seseorang yang sedang melaksanakan sholat, ia tidak hanya bergerak untuk melaksanakan setiap rukun dan wajib sholat, tetapi juga harus menghadirkan hati sebagai ruh sholat tersebut. Bahkan jika seseorang menampakkan kekhusyukan badan dan hatinya kosong dan bermain-main maka ia terjatuh dalam kekhusyukan kemunafikan.
Ketahuilah, bahwa ibadah seorang hamba harus dibangun oleh tiga pilar, dan ketiganya harus terkumpul seluruhnya dalam setiap muslim. Ibadah seseorang tidaklah akan benar dan sempurna kecuali dengan adanya pilar-pilar tersebut. Bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai ‘rukun ibadah’. Tiga hal itu adalah cinta, takut dan harap. Sehingga seorang salaf berkata, “Barang siapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja maka dia seorang zindiq, barang siapa beribadah hanya dengan khouf (takut) saja maka haruri (khowarij), barang siapa beribadah hanya dengan rasa harap saja maka dia seorang murji’ dan barang siapa yang beribadah dengan cinta, takut dan harap maka dia seorang mukmin.”

Cinta
Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Makna cinta tidak terbatas hanya kepada hubungan kasih antara dua insan semata, namun sesungguhnya makna dari cinta itu lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Allah. Dimana jika seorang hamba mencintai Allah, maka dia akan rela untuk melakukan seluruh hal yang diperintahkan dan menjauhi seluruh hal yang dilarang oleh yang dicintainya tersebut. Cinta kepada Allah juga mengharuskan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah... Sesungguhnya apabila ditanyakan kepada setiap muslim "Apakah anda mencintai Allah?." maka tentu dia akan menjawab "Tentu saja".

            Namun pernyataan tanpa bukti tidaklah bermanfaat. Allah tidak membutuhkan pernyataan belaka, Dia menginginkan agar kita membuktikan pernyataan kita "Aku cinta Allah". Oleh karena itulah, Alloh menguji setiap muslim dalam firman-Nya "Katakanlah (wahai muhammad) : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran :31). Ya, bukti kecintaan kita kepada Allah adalah dengan mengikuti Rasulullah dalam segala hal. Bahkan kecintaan kita terhadap beliau harus lebih dari kecintaan kita terhadap diri sendiri dan keluarga. Beliaulah teladan baik dalam aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan sebagainya. Allah berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab :21).
Maka jika kita mencintai Allah, mari kita buktikan dengan menjadikan Rasulullah sebagai panutan kita, bukan dengan menjadikan orang-orang kafir sebagai panutan, walaupun mereka itu populer dan terkenal seperti artis, selebritis dan semacamnya. Karena sesungguhnya Rasulullah bersabda "Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya (di hari akhirat nanti)" (HR Muslim). Dimana makna dari hadits ini adalah jika ketika di dunia kita mencintai orang-orang shaleh (seperti para rasul dan nabi) dan menjadikan mereka teladan, maka di akhirat nanti kita akan bersama mereka, dan sebaliknya jika ketika di dunia kita mencintai orang-orang kafir dan menjadikan mereka teladan, maka di akhirat nanti kita pun akan bersama mereka. Bukankah tempat mereka di akherat merupakan seburuk-buruk tempat. Duhai, betapa musibah yang sangat besar!

Takut
Pilar lainnya yang mesti ada dalam ibadah seorang muslim adalah rasa takut. Dimana dengan adanya rasa takut, seorang hamba akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah kepada Allah semata agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat. Allah berfirman, "(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat." (QS. Al Anbiya :49).
Rasa takut ada bermacam-macam, namun yang takutnya seorang muslim ialah takut akan pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk (mati dalam keadaan sedang bermaksiat kepada Allah), rasa takut akan hilangnya iman dan lain sebagainya. Rasa takut semacam inilah yang harus ada dalam hati seorang hamba.

Harap
Pilar berikutnya yang harus ada dalam ibadah seorang hamba adalah rasa harap. Rasa harap yang dimaksud adalah antara lain harapan akan diterimanya amal kita, harapan akan dimasukkan surga, harapan untuk berjumpa dengan Allah, harapan akan diampuni dosa, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Rasa harap inilah yang dapat mendorong seseorang untuk tetap terus berusaha untuk taat, meskipun sesekali dia terjatuh ke dalam kemaksiatan namun dia tidak putus asa untuk terus berusaha sekuat tenaga untuk menjadi hamba yang taat. Karena dia berharap Allah akan mengampuni dosanya yaitu dengan jalan bertaubat dari kesalahannya tersebut dan memperbanyak melakukan amal kebaikan. Sebagaimana firman Allah "Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az Zumar : 53)
Harapan berbeda dengan angan-angan. Sebagai contoh orang yang berharap menjadi orang baik maka ia akan melakukan hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang baik, sedangkan orang yang berkeinginan menjadi orang baik namun tidak berusaha untuk melakukan kebaikan maka orang-orang inilah yang tertipu oleh angan-angan dirinya sendiri.

Pentingnya Cinta, Takut dan Harap dalam Ibadah.
Ketiga pilar yang telah disebutkan di atas harus terdapat dalam setiap ibadah seorang hamba. Tidaklah benar ibadah seseorang jika satu saja dari ketiga hal tersebut hilang. Seseorang yang memiliki rasa takut yang berlebihan akan menyebabkan dirinya putus asa, sedangkan jika rasa takutnya rendah maka dengan mudahnya dia akan bermaksiat kepada Tuhannya. Kebalikannya seseorang yang berlebihan rasa harapnya akan menyebabkan dia mudah bermaksiat dan jika rendah rasa harapnya maka dia akan mudah putus asa. Sedangkan kedudukan cinta, maka cinta inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sehingga diibaratkan bahwa kedudukan ketiga pilar ini dalam ibadah bagaikan kedudukan seekor burung, dimana rasa takut dan harap sebagai kedua sayapnya yang harus seimbang dan rasa cinta sebagai kepalanya yang merupakan pokok kehidupannya. (Abu Uzair Boris Tanesia)

Rabu, 11 Juni 2008

Makna Ikhlas


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa makna Al-Ikhlas? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?

Jawaban
Ikhlas kepada Allah Ta’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keridhaan-Nya.

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :

Pertama.
Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]

Kedua
Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]

Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadapn dirinya.

Ketiga
Dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji.

“Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya.

“Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]

Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]

Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut” [3]

Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.

Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai malalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.

Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”

Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.

Yang jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa hadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.

Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas”

Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugrahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.

[Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note.
[1]. Shahih Muslim, kitab Az-Zuhd (2985)
[2]. Sunan Abu Daud kitab Al-Jihad (2516), Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) ; lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad no. 7887
[3]. Shahih Al-Bukhari, kitab Bad’u Al-Wahyi (1), Shahih Muslim, kitab Al-Imarah (1907)